Jangan Main-main Dengan Anakmu
Oleh Afifah Afra
Suatu hari, Anis, anak saya yang baru berusia 2,5 tahun meminta diantar BAB ke WC. Namanya juga anak kecil, bukannya jongkok di atas WC, malah main-main sembari menyiram-nyiram air ke dinding. Dengan memendam kesal, saya berkata padanya.
"Mba Anis, ee'nya sambil jongkok ya?! Kalau ee' sambil berdiri, jadinya kayak kucing. Mbak Anis kan orang, bukan kucing."
"Bukan, Anis Ikan..." jawab Anis, dengan kalimatnya yang masih cedal. Saya tertegun.
"Anis ikan, bukan kucing," ulang anak saya itu.
"Anis orang, bukan ikan," ujar saya sembari mengingat-ingat, apa yang membuat Anis mengidentifikasikan dirinya sebagai ikan.
"Bukan, anis ikan!" Anis ngotot.
Ah, ya... mendadak saya teringat. Pernah suatu saat, saya bercanda kepada Anis. Saya katakan padanya. "Anis ikan, Ummi ikan, Abi juga ikan..."
Ah, rupanya kalimat selengean saya itu terpatri kuat di dalam ingatannya yang tajam. Akhirnya, saya pun bersusah payah untuk menjelaskan padanya. "Lihatlah!" kata saya sembari menunjuk gambar ikan di atas pintu kamar mandi kami. "Itu ikan. Ikan nggak punya tangan, nggak punya kaki. Anis punya tangan?"
Anis mengangguk.
"Punya kaki."
Mengangguk juga.
"Jadi, Anis bukan ikan. Ikan nggak punya tangan dan kaki. Anis punya. Anis bukan ikan. Anis orang."
"Ya Mi, Anis orang..."
Saya mendesah lega sekaligus bertekad dalam hati, jangan main-main lagi sama kaset kosong yang siap merekam apa saja yang ada di sekitarnya.
Tuesday, March 27, 2007
Saturday, March 17, 2007
DiCARI, Agen untuk Afra Publishing
Alhamdulillah, saat ini kami telah menerbitkan 7 buah buku, dan dalam bulan-bulan selanjutnya kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk tampil sebagai penerbit yang dinamis dan kreatif. Alhamdulillah juga, buku-buku kami mendapat respon yang bagus dari pasar. Buku Teman Tapi Mesra misalnya, telah mengalami cetak ulang 4 kali. How Tobe A Smart Leader cetak ulang yang ke-3. Sementara buku-buku yang lain, sedang dalam proses cetak ulang.
Anda tertarik untuk memasarkan buku-buku kami?
Mengapa tidak bergabung menjadi salah satu agen kami?
Caranya? GAMPANG.
KHUSUS UNTUK TOKO BUKU dan DISTRIBUTOR
1. Pembelian cash kami beri diskon 45%
2. Pembelian kredit 1 bulan, diskon 40%
3. Konsinyasi, diskon 30%
Ketentuan lebih lanjut silahkan hubungi kami di afrapublishing@gmail.com
UNTUK PEMBELIAN PERSEORANGAN
Dapatkan diskon yang menarik dari kami
Informasi tentang judul-judul buku kami bisa dilihat di bagian bawah situs ini!
Selamat bergabung!
Alhamdulillah, saat ini kami telah menerbitkan 7 buah buku, dan dalam bulan-bulan selanjutnya kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk tampil sebagai penerbit yang dinamis dan kreatif. Alhamdulillah juga, buku-buku kami mendapat respon yang bagus dari pasar. Buku Teman Tapi Mesra misalnya, telah mengalami cetak ulang 4 kali. How Tobe A Smart Leader cetak ulang yang ke-3. Sementara buku-buku yang lain, sedang dalam proses cetak ulang.
Anda tertarik untuk memasarkan buku-buku kami?
Mengapa tidak bergabung menjadi salah satu agen kami?
Caranya? GAMPANG.
KHUSUS UNTUK TOKO BUKU dan DISTRIBUTOR
1. Pembelian cash kami beri diskon 45%
2. Pembelian kredit 1 bulan, diskon 40%
3. Konsinyasi, diskon 30%
Ketentuan lebih lanjut silahkan hubungi kami di afrapublishing@gmail.com
UNTUK PEMBELIAN PERSEORANGAN
Dapatkan diskon yang menarik dari kami
- Pembelian 1-15 eksemplar, diskon 20%
- Pembelian 16-30 eksemplar, diskon 25%
- Pembelian 31-50 eksemplar, diskon 30%
- Pembelian 51-75 eksemplar, diskon 35%
- Pembelian 76-100 eksemplar, diskon 40%
- Pembelian 101-150 eksemplar, diskon 45%
- Pembelian di atas 151 eksemplar, diskon 50%
Informasi tentang judul-judul buku kami bisa dilihat di bagian bawah situs ini!
Selamat bergabung!
Tuesday, March 6, 2007
Penulis Bikin Publishing?
WHY NOT?!
By Afifah Afra
Sebenarnya sama halnya dengan seorang petani yang memiliki sendiri tanahnya. Ketika kita masih menjadi penulis yang 'menggantungkan' nasib kepada penerbit, nasibnya akan sama dengan para petani yang bekerja di sebagai buruh di sawah-sawah. Tentu saja ia tak akan seleluasa para petani yang memiliki sawahnya sendiri dalam mengaktualisasikan kehendaknya atas sawah tersebut. Suatu saat, ia mungkin ingin menanami sawahnya dengan jagung, karena beras mahal, dan jagung bisa menjadi alternative pangan, akan tetapi keinginannya akan membentur karang terjal karena sang pemilik sawah tetap bersikeras agar tanahnya ditanami padi.
Petani yang menggarap sawahnya sendiri, pasti akan mampu melantunkan lagu kepuasan, saat karyanya menghasilkan sesuatu yang bersinergi dengan idealismenya. Demikian juga, ketika penulis memiliki publishing sendiri, bait-bait kebahagiaan, akan mampu dilesatkan dari setiap release buku-bukunya.
Namun, jangan bayangkan bahwa mengelola sebuah publishing itu mudah. Sulit. Pusing. Bikin stress. Ini saya rasakan ketika merintis Afra Publishing. Karena belum stabilnya produksi buku yang berarti belum stabilnya cash-flow, khususnya tentu cash-in, saya memutuskan menjadi karyawan di publishing saya sendiri. O, ya… ada juga general manager yang mengurusi hal-hal yang bersifat maskulin seperti packing, angkat-angkat barang, ngurusi produksi hingga marketing, yakni suami saya sendiri. Dan terjadilah sebuah ritme kerja yang bikin seluruh tulang dalam tubuh terasa dilolosi. Bayangkan, untuk memenuhi permintaan nyaris 40 agen, kami harus bekerja sendirian. Sering hingga jam 12 malam kami masih begadang, karena jika siang suami kerja, dan saya momong anak-anak.
Belum lagi masalah perhitungan keuangan yang benar-benar njlimet. Saya punya pengalaman mendirikan perusahaan bersama teman-teman, dan ternyata bangkrut gara-gara kurang perhitungan. Untuk perusahaan bermodal cekak, segala aktivitas, terutama yang membutuhkan cost, memang harus benar-benar diperhitungkan.
Termasuk memenej keuangan adalah 'menahan nafsu' untuk tidak menggunakan uang perusahaan untuk kebutuhan konsumtif. Suami saya pernah mengajak saya jalan-jalan ke sebuah pameran furniture. Biasa, namanya perempuan, tentu senang melihat sesuatu yang indah. Sudah indah, didiskon lagi. Saat itu saya terpesona oleh satu set sofa yang desainnya unik. Harganya pun termasuk tidak terlampau mahal. Saya bilang kepada suami, "Mas, selama ini tamu-tamu kita dipaksa lesehan di atas karpet, karena di rumah kontrakan belum ada kursi tamu. Gimana jika kita beli saja sofa ini?"
Suami saya hampir tergoda. Namun setelah kami hitung, uang pribadi kami tidak cukup. Ada uang perusahaan. Namun jika uang itu dipakai, bisa-bisa modal kami habis dan kami tidak lagi bisa berproduksi. Akhirnya, jika anda saat ini bertamu ke rumah kami, maka saya mohon maaf sebesar-besarnya, karena anda hanya akan kami persilahkan duduk di atas karpet:-(.
Jika sikap mental semacam itu sudah terasah, pun bukan berarti segala sesuatu menjadi mudah. Dari factor eksternal, kami juga menghadapi beberapa agen yang 'nakal.' Ada yang beli secara kredit 1 bulan, seharga hampir 2,5 juta, namun hingga 7 bulan belum juga dilunasi. Ada yang mengambil secara konsi, ia melapor bahwa buku kami terjual senilai sekian juta, namun yang dikirim hanya laporan doang. Hingga berbulan-bulan, bahkan hingga kini, dana tersebut belum ditransfer. Anda bisa membayangkan, bagi perusahaan yang dirilis dengan modal tak sampai 15 juta, dana tersebut tentu sangat berarti bagi kami.
By Afifah Afra
Sebenarnya sama halnya dengan seorang petani yang memiliki sendiri tanahnya. Ketika kita masih menjadi penulis yang 'menggantungkan' nasib kepada penerbit, nasibnya akan sama dengan para petani yang bekerja di sebagai buruh di sawah-sawah. Tentu saja ia tak akan seleluasa para petani yang memiliki sawahnya sendiri dalam mengaktualisasikan kehendaknya atas sawah tersebut. Suatu saat, ia mungkin ingin menanami sawahnya dengan jagung, karena beras mahal, dan jagung bisa menjadi alternative pangan, akan tetapi keinginannya akan membentur karang terjal karena sang pemilik sawah tetap bersikeras agar tanahnya ditanami padi.
Petani yang menggarap sawahnya sendiri, pasti akan mampu melantunkan lagu kepuasan, saat karyanya menghasilkan sesuatu yang bersinergi dengan idealismenya. Demikian juga, ketika penulis memiliki publishing sendiri, bait-bait kebahagiaan, akan mampu dilesatkan dari setiap release buku-bukunya.
Namun, jangan bayangkan bahwa mengelola sebuah publishing itu mudah. Sulit. Pusing. Bikin stress. Ini saya rasakan ketika merintis Afra Publishing. Karena belum stabilnya produksi buku yang berarti belum stabilnya cash-flow, khususnya tentu cash-in, saya memutuskan menjadi karyawan di publishing saya sendiri. O, ya… ada juga general manager yang mengurusi hal-hal yang bersifat maskulin seperti packing, angkat-angkat barang, ngurusi produksi hingga marketing, yakni suami saya sendiri. Dan terjadilah sebuah ritme kerja yang bikin seluruh tulang dalam tubuh terasa dilolosi. Bayangkan, untuk memenuhi permintaan nyaris 40 agen, kami harus bekerja sendirian. Sering hingga jam 12 malam kami masih begadang, karena jika siang suami kerja, dan saya momong anak-anak.
Belum lagi masalah perhitungan keuangan yang benar-benar njlimet. Saya punya pengalaman mendirikan perusahaan bersama teman-teman, dan ternyata bangkrut gara-gara kurang perhitungan. Untuk perusahaan bermodal cekak, segala aktivitas, terutama yang membutuhkan cost, memang harus benar-benar diperhitungkan.
Termasuk memenej keuangan adalah 'menahan nafsu' untuk tidak menggunakan uang perusahaan untuk kebutuhan konsumtif. Suami saya pernah mengajak saya jalan-jalan ke sebuah pameran furniture. Biasa, namanya perempuan, tentu senang melihat sesuatu yang indah. Sudah indah, didiskon lagi. Saat itu saya terpesona oleh satu set sofa yang desainnya unik. Harganya pun termasuk tidak terlampau mahal. Saya bilang kepada suami, "Mas, selama ini tamu-tamu kita dipaksa lesehan di atas karpet, karena di rumah kontrakan belum ada kursi tamu. Gimana jika kita beli saja sofa ini?"
Suami saya hampir tergoda. Namun setelah kami hitung, uang pribadi kami tidak cukup. Ada uang perusahaan. Namun jika uang itu dipakai, bisa-bisa modal kami habis dan kami tidak lagi bisa berproduksi. Akhirnya, jika anda saat ini bertamu ke rumah kami, maka saya mohon maaf sebesar-besarnya, karena anda hanya akan kami persilahkan duduk di atas karpet:-(.
Jika sikap mental semacam itu sudah terasah, pun bukan berarti segala sesuatu menjadi mudah. Dari factor eksternal, kami juga menghadapi beberapa agen yang 'nakal.' Ada yang beli secara kredit 1 bulan, seharga hampir 2,5 juta, namun hingga 7 bulan belum juga dilunasi. Ada yang mengambil secara konsi, ia melapor bahwa buku kami terjual senilai sekian juta, namun yang dikirim hanya laporan doang. Hingga berbulan-bulan, bahkan hingga kini, dana tersebut belum ditransfer. Anda bisa membayangkan, bagi perusahaan yang dirilis dengan modal tak sampai 15 juta, dana tersebut tentu sangat berarti bagi kami.
TETAPI, DUNIA PENERBITAN ITU MENGGIURKAN!
Setidaknya, itulah yang dituliskan oleh redaksi MATA BACA di edisi bulan ini. Menerbitkan buku sendiri itu menggiurkan, karena industri buku, khususnya buku-buku Islam, adalah salah satu industri yang tak mengenal resesi. Tengoklah di ajang-ajang Book Fair... pengunjung selalu berjubel, dan mereka tidak sekadar jalan-jalan, namun juga beli buku. Asal kita pintar membuat buku yang diminati pasar, meskipun penerbitan kita termasuk dalam kategori self publisher, tak ada masalah.
5 trik membuat penerbitan.
1. Buatlah naskah yang menarik. Jika naskah itu anda tulis sendiri, anda bisa membuat semacam 'penelitian', buku apa yang sebenarnya tengah dicari orang. Sering-seringlah anda ke toko buku atau ajang-ajang pameran buku. Anda akan tahu buku apa yang sedang diminati pasar.
2. Mintalah nomor ISBN. Caranya kirimkan cover (atau bakal cover), daftar isi dan pengantar (bila ada) ke tim ISBN Perpust pusat di Salemba, Jakarta. Biayanya Rp 25.000/ buku
3. Buatlah desain yang 'beda'. Anda bisa meminta bantuan kepada para desainer terutama freelancer, karena biasanya tidak terikat dengan perusahaan manapun. Biaya yang anda sediakan untuk buku ukuran novel setebal 200-an halaman adalah sekitar Rp 500.000-1.000.000 atau lebih, tergantung kualitas desain dan kota tempat tinggal desainer tersebut. Kalau di Bandung, barangkali harga desain lebih besar daripada di Solo.
4. Setelah itu, carilah percetakan yang berkualitas. Biasanya, percetakan sudah memiliki fasilitas pembuatan film atau print kalkir, sehingga kita tinggal memasukkan file naskah kita yang sudah didesain doang. Untuk buku novel 200-an hal, biaya cetak untuk 1000 eksemplar adalah sekitar Rp 5.000-Rp 10.000-an per eksemplar, tergantung spesifikasi yang anda maui.
5. Setelah buku jadi, anda bisa cari distributor. Caranya, lihatlah iklan-iklan buku di majalah, biasanya di bawah iklan itu ada daftar distributor. Distributor inilah yang akan memasarkan buku-buku anda di 'daerah kekuasaannya.'
SELAMAT Membuat Penerbitan Sendiri!!
Jika anda bingung mencari desainer atau percetakan, bisa hubungi kami:-). Atau untuk lebih jelas, baca deh buku saya, "How To Be A Smart Writer!"
Subscribe to:
Posts (Atom)